
Realitas yang menyedihkan ketika sebuah bangsa tidak menghargai bahasanya sendiri. Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, bahkan merupakan bagian terpenting dari kebudayaan. Dan sebuah bangsa tanpa budaya adalah kosong, karena tidak ada identitas yang dimunculkan untuk membedakannya dengan bangsa lainnya.
Dalam berkomunikasi, setiap orang membutuhkan sebuah alat yang dapat menghubungkannya dengan orang lain yaitu bahasa. Selain sebagai sebuah alat komunikasi, bahasa juga merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri seperti yang disebut dalam Kridalaksana (1983). Bahasa sebagai sistem berarti ia memiliki sebuah pola dan dapat dikaidahkan. Bahasa bersifat universal sebab ia merupakan sistem yang dianut manusia pada umumnya, namun tetap terbatas pada satu masyarakat tertentu. Baik benua, negara, bahkan suku bangsa yang merupakan kesatuan masyarakat budaya terkecil. Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki masing-masing bahasa yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi. Begitupun di Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang tiap suku bangsanya memiliki bahasanya sendiri yang juga terdiri dari berbagai dialek atau ragam bahasa.
Menurut Kaswanti Purwo dalam Macaryus (2008) Indonesia memiliki bahasa daerah sebanyak 706. Dendi Sugono pada Kongres Bahasa Jawa IV mengemukakan jumlah 720. Data SIL (Summer Institute of Linguistic) menunjukkan adanya 735 bahasa daerah di Indonesia. Di Pulau Jawa terdapat 12 bahasa, di Pulau Kalimantan 8 bahasa, di Pulau Sumatra 27 bahasa, di Pulau Sulawesi 17 bahasa, di Nusa Tenggara 13 bahasa, di Maluku 2 bahasa, dan di Irian Jaya 2 bahasa. Bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa yang masih sehat atau penuturnya 100.000 atau lebih. Sisanya sejumlah 652 bahasa adalah bahasa yang ada dalam kondisi mengkhawatirkan, tidak diketahui, bahkan terdapat 2 bahasa yang punah.
Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock, dalam Koenjaraningrat, 1994: 17). Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
Namun ternyata bahasa Jawa juga dituturkan di negara jiran kita yaitu Malaysia. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu hampir di seluruh pulau di negeri ini terdapat pengguna bahasa Jawa. Bahkan di luar negeri pun terdapat pengguna bahasa Jawa yang tersebar di beberapa negara. Yang cukup terkenal adalah di Suriname. Selain itu juga banyak warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri yang masih tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka dengan sesama warga Jawa. Hal ini membuktikan bahwa daerah persebaran bahasa Jawa sangatlah luas. Sehingga Bahasa Jawa dapat dikatakan sebagai bahasa ibu yang sangat sehat dengan banyaknya penutur yang tersebar di seluruh dunia.
Yang kita perlu tahu dan renungkan adalah bukan tentang siapa yang menuturkan bahasa Jawa, namun apa yang dapat kita lakukan sebagai penutur asli bahasa Jawa dalam menghadapi situasi dimana makin berkurangnya “orang Jawa” yang mampu berbahasa Jawa. Masyarakat Jawa sekarang lebih merasa bangga ketika ia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan komunikasinya daripada menggunakan bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa. Bukan bermaksud untuk menomorduakan bahasa Indonesia, namun pemertahanan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa merupakan salah satu cara agar bahasa yang merupakan bagian terpenting dalam sebuah kebudayaan tidak mengalami kepunahan. Sebelumnya dikatakan bahwa bahasa Jawa termasuk dalam salah satu bahasa ibu di nusantara yang sangat sehat. Namun tak menutup kemungkinan, bahasa yang sangat sehat ini, dalam jangka waktu yang cepat dapat mengalami kepunahan. Ungkapan bahasa menunjukan bangsa, kendati maknanya tidak sesederhana itu, tapi bisa kita pertautkan sedikit. Kalaulah kita sendiri sudah merasa malu menggunakan bahasa kita, apakah tidak layak kita pertanyakan nasionalisme kebangsaan kita.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat Jawa. Hal ini dapat diketahui dari pemakaian bahasa Jawa dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat etnis Jawa, yaitu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari, dalam dunia pendidikan, dalam media massa, dan lebih lagi dalam dunia dunia seni pertunjukan tradisional Jawa seperti wayang, ludruk, ketoprak, dan sebagainya.
Bahasa Jawa menurut Mulyani (2008) pada prinsipnya terbagi dalam dua tingkat tutur, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko lebih lanjut dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ragam ngoko lugu dan ragam ngoko alus. Ragam ngoko lugu berupa tuturan yang semua leksikonnya berasal dari kelompok ngoko (kosa kata yang netral) tanpa diselipi leksikon yang berasal dari kelompok krama, krama inggil maupun krama andhap. Sedangkan ragam ngoko alus berupa tuturan yang leksikonnya berasal dari leksikon ngoko dan disisipi dengan leksikon yang berasal dari leksikon krama, krama inggil ataupun krama andhap. Pemakaian leksikon krama, krama inggil ataupun krama andhap pada ragam ngoko alus ini berfungsi untuk menghormati mitra tutur. Lalu untuk kosa kata ragam krama lugu berasal dari leksikon krama, madya, dan netral. Munculnya leksikon krama inggil ataupun krama andhap adalah untuk menghormati mitra tutur. Sedang ragam krama alus berkosa kata yang berasal dari leksikon krama ditambah dengan leksikon dari kelompok krama inggil dan krama andhap. Penggunaan ragam ini juga berfungsi untuk menghormati mitra tutur.
Adanya berbagai ragam tingkatan Bahasa Jawa merupakan refleksi sosial yang terdapat dalam masyarakat Jawa, yang kerap dihubungakan dengan unggah-ungguh bahasa, salah satunya bisa menggunakan ragam krama atau krama inggil pada orang yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi. Sedang dengan menggunakan ragam ngoko, maka orang dianggap memiliki tingkat social atau kesopanan yang rendah. Dengan adanya perbedaan tingkat tuturan maka hal ini dapat mencerminkan tingkat kesopanan yang dimiliki antara penutur dan lawan tutur.
Upaya memperkuat dan memperkokoh kembali budaya Jawa dapat dilakukan dengan cara membiasakan kembali menggunakan budaya dan bahasa Jawa. Hidup atau matinya budaya dan bahasa Jawa di masa mendatang tergantung masyarakat pemilik budaya dan bahasa ini, terutama generasi muda dan keluarga Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama. Dengan tercerminnya tata krama, maka akan terlihat seperti apa budaya yang dijunjung oleh masyarakatnya. Sehingga sebuah bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang melestarikan bahasa daerahnya sebagai bagian dari kebudayaan.
Bahasa Jawa sebagai salah satu bagian dari budaya asli Indonesia juga mengalamai keadaan yang sama dengan budaya itu sendiri. Makin berkurangnya masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya dan memilih bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing, merupakan gejala yang kini kerap muncul. Ketika bahasa Jawa saja sudah mulai terkikis penggunaanya tentu saja adanya berbagai tingkat tutur bahasa Jawa yang masih bertahan dalam masyarakat penggunanya pun perlu dipertanyakan kembali. Mari kita cintai dan lestarikan bahasa bahasa daerah yang ada di Indonesia. Minimal bahasa daerah kita sendiri. Salam budaya!!!
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
Macaryus, Sudartomo. 2008. “Aneka Problem Pembelajaran Bahasa Daerah” dalam Mulyana (ed). Bahasa dan Sastra Daerah Dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mulyani, Siti. 2008. “Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Proses Pembentukan Jati Diri” dalam Mulyana (ed). Bahasa dan Sastra Daerah Dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.